MARS AND VENUS

Suasana di luar rumah sangat dingin. Begitu dingin sampai-sampai lelaki putih berambut mohawk itu merasa seluruh darahnya membeku. Hembusan-hembusan nafas yang keluar dari mulutnya terlihat sangat jelas. Ia bahkan sempat berpikir akan terserang hipotermia.

Mobil-mobil berseliwiran ricuh di hadapannya. Suara klakson saling beradu menambah keributan di jalan raya sore itu. Hujan baru saja berhenti beberapa menit yang lalu, dan trotoar jalanan langsung di padati pejalan kaki yang sejak tadi menunggu berhentinya hujan. Beberapa dari pejalan kaki masih menggunakan payungnya seakan-akan kulit mereka akan melepuh apabila tersentuh air hujan meskipun hanya setetes.

Laki-laki jangkung berkulit putih dan berambut mohawk tadi memasukkan kedua tangannya ke saku jaket dan segera menyebrang ketika melihat traffic light sudah berubah warna. Tanpa ia sadari, banyak sekali penyebrang yang datang dari arah yang berlawanan darinya. Kebanyakan dari mereka mengenakan payung dan berjalan terburu-buru seperti di kejar oleh waktu. Berkali-kali ia menunduk kalau tidak ingin matanya merah karena tercolok ujung payung.

Berulang kali juga bahunya di tabrak orang lain tanpa terdengar kata 'maaf' sama sekali. Si laki-laki menggelengkan kepala lalu menghela nafas. Baru saja ia akan kembali melangkah, tiba-tiba seseorang menabrak tubuhnya sangat kencang sampai tubuhnya terjungkang ke belakang.

"Ouch!!" rintihnya sambil mengelus-ngelus bokongnya yang mendarat di jalan aspal.
"Ah, maaf... maafkan saya..." ucap seseorang bersuara lembut membuyarkan rasa sakit di bokongnya.

Perlahan-lahan ia menengadahkan kepala dan melihat sosok cantik yang berdiri tepat di hadapannya. Tangan kanannya menutup mulut seperti terkejut sementara tangan lainnya menggenggam erat payung biru.

"K-kau... tidak apa-apa?" tanya si cantik mengulurkan tangan kanan. "Ayo, aku bantu!"

Si laki-laki menerima uluran tangan si cantik lalu tersenyum miris.

"Aku tidak apa-apa..."
"Maaf ya? Aku benar-benar tidak sengaja..." sahut si cantik dengan tampang yang memelas.
Si laki-laki tertawa pelan. "Mmm... tak apa-apa. Aku tahu kau sedang terburu-buru bukan?"
Si cantik tersenyum manis lalu mengangguk pelan. "Sepertinya waktu terus mengejarku..."

Ada jeda waktu beberapa detik. Sebelum si laki-laki menyadari sesuatu.

"Oh ya, aku Mars," ujarnya mengulurkan tangan.
Si cantik mengerjapkan matanya polos. "Oh! Aku... Venus,"

Baru saja Mars akan bertanya lebih lanjut, tiba-tiba suara klakson yang saling beradu mengejutkannya.

"Oii!! Sadar tidak sih?! Kalian itu ada di tengah jalan!!" amuk salah seorang pengemudi.

Mars dan Venus terperajat lalu cepat-cepat meminta maaf.

"Hei, sebelum kau pergi... boleh aku meminta nomor--"
"Maaf, aku benar-benar terburu-buru!" sahut Venus tersenyum simpul dan berlalu dari hadapan Mars.
"Tu-tunggu! Venus!"

TIN!! TIN!!

* * *

TIN! TIN!

Mars terperajat. Sebuah mobil keluaran import tiba-tiba melesat cepat di hadapannya. Sadar kalau dirinya masih di tengah jalan, akhirnya Mars segera berlari ke trotoar yang berlawanan arah dengan Venus.

"Argh, sial!" umpat Mars menendang kerikil kecil di dekatnya.

Well, ketemu seorang perempuan cantik bak bidadari di tengah jalan kan jarang-jarang terjadi. Terlebih dalam suasana dingin sehabis hujan. Mars mendengus kesal. Kalau saja ia tidak ada janji dengan sahabatnya di cafe, mungkin ia sudah berlari dengan kecepatan penuh menyusul Venus.

Masih dengan suasana hati yang panas, Mars berjalan cepat menuju cafe langganannya. Ia dapat menebak kalau kedua sobatnya yang kembar - Biru dan Blue - sudah mencak-mencak saking kesalnya menunggu Mars.

Sesaat Mars menghentikan langkahnya. Ia menghela nafas panjang lalu menatap plang nama cafe yang terpasang besar di hadapannya.

'Planetarium cafe'

"Hei, dari mana saja kau?!" pekik Biru ketika Mars baru saja duduk di kursi hadapannya. "Kau tahu? Ini gelas cappucino ku yang kelima!"

Mars angkat bahu cuek. Hari ini si kembar mengenakan pakaian simple yang menurut Mars enak di pandang. Biru dengan kaus tanpa lengan berwarna biru dan celana 3/4 kesayangannya. Sementara Blue memakai kaus biasa (yang jga berwarna biru) dan celana panjang gober seperti seorang hipster.

"Kau tidak kedinginan?" tanya Mars.
"Apa?" tanya Biru.
Mars berdecak. "Kau tidak kedinginan mengenakan pakaian tanpa lengan seperti itu??"
"Ah, biasa saja!" sahut Biru enteng. "Aku sering mengenakan pakaian seperti ini saat musim dingin di London."
Kali ini Mars mencibir.
"Kau darimana? Lama sekali datangnya?" tanya Blue yang memang lebih kalem di banding Biru.
Mendadak senyum bahagia muncul di raut wajah Mars. "Kalian tahu? Tadi aku bertemu dengan seorang peri cantik di tengah jalan,"

Si kembar saling berpandangan bingung.

"Sungguh, dia betul-betul cantik! Dan... kalian tahu namanya siapa??" serentak kedua sobatnya menggelengkan kepala. "Namanya Venus!"

Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya si kembar tertawa terbahak-bahak. Mars yang kebingungan cuma bisa bengong melihat si kembar tertawa. Apa ada yang salah??

"Kau itu... lucu!" seru Biru.
"Apanya yang lucu?!" amuk Mars.
Blue berdeham sedikit. "Hei, Mars dan Venus. Kedengaran memang cocok ya?" diam-diam Mars tersenyum mendengarnya. "Tapi, bagaimana kalau seandainya ternyata mereka adik-kakak??"

Sontak, senyum Mars yang tadinya mengembang langsung lenyap berganti dengan raut wajah pucat ketika ia mengingat ibunya yang single parent.

* * *
Hujan memang sudah mereda. Tapi belum sepenuhnya berhenti. Rintik-rintik hujan yang masih turun membuat Venus enggan menutup payungnya.

TIN! TIN!

Mendadak Venus menoleh. Disana, di seberang trotoar dimana Venus berdiri, masih tampak jelas seorang laki-laki jangkung yang beberapa detik lalu di tabraknya saat menyebrang. Namanya, Mars. Senyum manis Venus tiba-tiba saja mengembang ketika ia melihat Mars mengumpat sebal dan menendang kerikil kecil di seberang sana.

"Laki-laki yang aneh," gumam Venus sambil menggeleng.

Mungkin seandainya Venus tidak ada janji menjenguk Ayahnya di rumah sakit, ia tidak menolak kalau di ajak ngobrol bersama Mars. Tapi sayangnya, Venus tidak bisa membatalkan janjinya begitu saja. Ayah pasti akan marah besar kalau sampai hari ini Venus tidak datang ke rumah sakit.

Aroma obat-obatan seketika tercium oleh Venus saat ia baru saja masuk ke rumah sakit 'Galaksi'. Jujur saja, sebenarnya Venus tidak begitu suka dengan aroma obat-obatan di rumah sakit. Aroma ini selalu berhasil membuat Venus teringat mendiang Ibunya.

"Selamat sore, Ayah!" seru Venus girang.
Ayah yang waktu itu sedang membaca koran di atas bangsal, hanya bergumam tak jelas. Seakan-akan kehadiran anak sulungnya itu tidak di harapkan.
"Ah, Ayah... kenapa tidak menjawab salamku?" protes Venus melempar tasnya ke sofa. "Bukankah Ayah yang memaksaku datang kesini?"
"Ya. Memang benar Ayah menyuruhmu kesini," sahut Ayah sambil menutup koran dan menatap Venus. "Tapi Ayah bingung saat mendengar cerita Andromeda tadi siang,"

Mendadak Venus tersentak. Andromeda menghubungi Ayah?

"Kenapa kau menolak ajakan makan siangnya, Venus?" tanya Ayah.
"Mmm... karena... aku ingin bertemu dengan Ayah secepatnya," jawab Venus sudah jelas berbohong.
Ayah menggelengkan kepala. "Hhh... anak muda jaman sekarang itu aneh ya? Di ajak makan siang dengan seorang eksekutif muda malah tidak mau. Padahal... dia tunanganmu lho!"
"Ayah!" pekik Venus segera duduk di tepi bangsal. "Andromeda itu bukan tunanganku! Lagipula, aku ini masih kuliah. Belum ingin tunangan,"
"Yaya... calon tunanganmu,"

Ada hening beberapa detik, sebelum akhirnya Ayah menyadari keganjalan pada Venus.

"Kau bertemu dengan siapa?" tanya Ayah.
"Ha?"
"Tadi kau bertemu dengan siapa di jalan? Tidak biasanya kau begitu ceria datang ke rumah sakit,"

Venus terdiam beberapa saat. Benarkah ia berbeda?

"Siapa lelaki itu?"
"Engg... tidak ada!"
Ayah berdecak lalu menggelitiki Venus. "Ayolah, aku ini Ayahmu! Ceritakan siapa laki-laki itu dan siapa namanya? Temanmu di kampus?"
Venus tertawa kecil. "Ayah, hentikan! Baiklah... baik! Akan aku ceritakan. Engg... namanya Mars. Dan dia laki-laki yang jangkung. Yahh... hanya segitu yang aku tahu,"

Dahi Ayah mengerut. Ia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.

"Aku berharap bisa bertemu lagi dengannya, Yah,"

Tepat saat itu juga, ponsel Venus berdering. Venus buru-buru mengambilnya dari tas lalu melihat LCD ponselnya.

'Andromeda'
calling!

* * *

"Mars! Kau mau kemana?" pekik Biru ketika melihat sahabatnya beranjak dari kursi cafe dan berjalan terburu-buru keluar.
"Hei, kawan! Tunggu dulu! Aku tadi hanya bercanda!" seru Blue tiba-tiba menyesali asumsinya yang aneh.

Mars dan Venus adik-kakak? Pemikiran yang konyol bukan?

Niatnya Biru mau mengejar Mars keluar, tapi begitu melihat Mars menyetop sebuah taksi dan berlalu begitu saja, Biru mendengus kesal. Di tatapnya saudara kembarnya dengan raut wajah yang seakan-akan Blue baru saja melakukan hal terbodoh seumur hidupnya.

"Kau ini bodoh sekali, brother!" amuk Biru. "Kalau begini jadinya, percuma sajakan kita menunggu Mars disini selama satu jam?!"
Blue hanya angkat bahu. "Jangan pura-pura munafik. Kau juga berpikiran sama denganku bukan?"

Biru terpaku. Di dalam hati, Biru membetulkan perkataan kakaknya yang hanya berbeda dua menit sewaktu lahir. Memang susah kalau punya saudara kembar! Tidak jarang cara berpikir mereka sama.

"Yaa... iya juga sih..." sahut Biru berdeham kecil. "Sudahlah, lupakan saja masalah Mars. Sekarang, bagaimana caranya kita memberitahu Androm?"
"Bilang saja yang sebenarnya!"
Biru berdecak. "Argh, kau tidak punya kreatif! Apa kau lupa bagaimana raut wajah Androm ketika diberitahu ada seseorang yang mengagumi hasil fotonya?"

Blue menghela nafas. Bersamaan dengan itu, bel pintu cafe 'Planetarium' berdencing. Si kembar otomatis menoleh dan mendapatkan seorang laki-laki tampan yang mengenakan kacamata.

"Wah, panjang umurnya..." gumam Blue.
"Hai, Andromeda!" seru Biru melambaikan tangan. Andromeda, yang saat itu sedang menelfon, tersenyum kecil lalu menghampiri meja si kembar.
"Ya sudah... lain kali saja ya kita makan malam bersamanya. Oke... oke... bye..."

Klik!

"Hhh... maaf kalau terlambat datang," sahut Andromeda ketika selesai menelfon. Mendadak ia celingak-celinguk seperti mencari seseorang. "Dimana teman kalian? Mars?"
"O-oh, dia sedang ada masalah hari ini. Jadi, tidak bisa menemuimu sekarang," jawab Biru di susul dengan anggukan kepala Blue.
"Yah, sayang sekali. Padahal... aku baru saja mau menunjukkan ini," kata Andromeda mengeluarkan map coklat dari dalam tasnya. Biru menerimanya.
"Apa ini?"
"Itu hasil fotoku kemarin,"

Si kembar sempat bertengkar ingin lebih dulu melihat hasil foto Andromeda. Tapi, sebagai kakak, akhirnya Blue mengalah. Walaupun sebenarnya ia penasaran.

"Waoo... cantik sekali!" seru Biru begitu melihat lembar-lembar foto. Blue mengambilnya lima lembar. "Siapa ini, Andro?"
Andromeda tersenyum misterius.
"Hei, kita berdua ini temanmu! Tidak ada salahnya kami tahu siapa perempuan di dalam foto ini!" protes Biru mengerti akan senyum Andromeda.
"Oke... oke... dia temanku. Ehh, sebenarnya, dia anaknya teman Ayahku. Namanya..." Andromeda menggantungkan kalimatnya sesaat. "...Venus,"

Si kembar tersentak kaget.

"APA?!"

* * *

Biru dan Blue masih tertawa pelan di hadapannya. Meskipun ia sadar kalau mereka hanya bergurau dan benar-benar tidak serius, tapi perkataan Blue sangat mengena buatnya. Karena Mars begitu terkejut, tanpa sadar ia segera berjalan cepat keluar cafe dan menyetop sebuah taksi. Mars bahkan menghiraukan panggilan Biru dari dalam cafe.

"Ke jalan Bulan, Pak!" seru Mars pada supir taksi yang segera mengangguk patuh.

Sepanjang perjalanan Mars tidak bisa berpikir jenuh. Memang sih, asumsi Blue yang mengatakan bahwa Mars & Venus adalah adik-kakak terdengar konyol. Bagaimana bisa mereka ada hubungan saudara? Kalau bertemu saja baru tadi pagi. Tapi Mars benar-benar panik! Mengingat orang tuanya sudah bercerai sebelum Mars lahir, ada kemungkinan asumsi Blue betul. Bisa saja Ayahnya Mars setelah bercerai dengan Ibunya segera menikahi perempuan lain yang tidak lain adalah Ibunya Venus?

Bagaimana kalau...

Chiitittt...!! Suara gesekan antara kulit ban mobil dengan aspal jalanan terdengar begitu nyaring di telinga Mars. Entah apa yang terjadi. Taksi yang di tumpangi Mars sepertinya telah di tabrak dengan mobil lain dari arah yang berlawan. Mars, yang memang sedang melamun, langsung linglung dan membentur jendela mobil.

"Hei!" pekik si supir taksi cepat-cepat keluar dari mobil.

Mars mendadak merasa pusing hebat. Ia menyentuh jidatnya yang terbentur jendela dan melihat aliran darahnya keluar. Mars panik. Darah adalah salah satu hal yang di benci olehnya. Baru saja Mars membuka pintu untuk keluar, tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan dan sesuatu yang terakhir kali ia lihat hanyalah gelap.

"Kau sudah sadar?" tegur seorang pria ketika Mars membuka kedua matanya secara perlahan. Ia mengerjap-ngerjap matanya lalu merasakan sakit luar biasa di kepalanya.
"Ouch!"
"Hei, jangan bangun dulu kalau masih sakit," kata pria tadi membantu Mars bangun dan duduk di bangsal rumah sakit. "Maafkan saya sudah membuatmu terluka,"
"Apa yang terjadi?" tanya Mars.
"Engg... tadi saya sedang menelfon dan tanpa sadar sudah menerobos lampu merah. Dan... ya... taksi yang kau tumpangi tertabrak,"

Mars menghela nafas. Sial, umpatnya. Bisa-bisanya ia kecelakaan saat ia sedang memikirkan Venus!

"Saya mau pulang sekarang," ucap Mars singkat. Pria dewasa yang menabraknya barusan hanya mengangkat bahu dan membiarkan Mars turun dari bangsal dan keluar kamar.
"Kalau begitu, saya pergi dulu," kata pria itu setelah sebelumnya melirik jam tangannya. Ia merogoh saku jasnya lalu memberikan kartu namanya pada Mars. "Tolong hubungi saya kalau terjadi sesuatu dengan otakmu. Saya tidak mau masuk penjara karena membuat seorang anak muda gila,"

Mars menerimanya lalu melihat pria itu berjalan menjauh. Ia seperti pernah melihat pria itu sebelumnya. Tapi dimana? Ketika Mars melangkahkan kakinya menuju arah yang berlawan dengan pria tadi, mendadak langkahnya terhenti saat melihat seseorang di hadapannya. Seseorang yang baru saja di pikirkannya.

"Venus?"
"Mars?" sahut Venus.

* * *

"Mmm... maaf Andro, bukannya aku tidak ingin pergi makan malam bersamamu, tapi..." Venus memandang ke sekeliling kamar pasien Ayahnya mencari-cari alasan. Mendadak ia terpaku pada Ayahnya. "Aku harus menemani Ayah di rumah sakit malam ini,"

Ayah langsung mengenyit bingung. Sedetik berikutnya, beliau mendengus kesal lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ya. Lain kali saja... bye..."

Klik!

"Kamu menolak ajakan Andromeda lagi?" tanya Ayah ketika Venus menaruh kembali ponselnya ke tas. "Dan kali ini Ayah sebagai alasannya?"
Venus angkat bahu. "Maafkan aku, Ayah. Tapi aku sedang tidak mood untuk makan malam bersama,"

Venus menatap jam dinding di kamar Ayahnya lalu menjetikkan jari. "Sudah pukul lima sore sekarang,"
Alis Ayah terangkat. "Aha? Lalu?"
"Ayah, aku harus pulang karena Bintang sendirian di rumah! Lagi pula, aku belum sempat masak tadi pagi..."
"Ohh, sekarang kau menggunakan Bintang sebagai alasan supaya bisa pergi dari sini," sahut Ayah sinis.
"Ayah ini kenapa? Aku ini serius! Apa Ayah ingin melihat Bintang tergeletak tidak bernyawa saat pulang ke rumah nanti?"
Ayah tidak mengacuhkannya.
"Aku pulang dulu. Bye, Ayah!"

Suasana rumah sakit sedikit lebih ramai di banding saat Venus datang barusan. Mungkin karena memang jam-jam seperti ini para pekerja sudah pulang dan menjenguk rekannya yang sedang sakit. Venus melangkahkan kaki riang ketika ia sampai di lantai dasar. Tapi, mendadak langkahnya terhenti. Ia melihat Oom Bumi -Ayahnya Andromeda- sedang berbicara dengan seorang pemuda di dekat kamar pasien. Tak lama kemudian Oom Bumi beranjak pergi dan si pemuda itu segera membalikkan badan tepat di hadapan Venus.

Tiba-tiba Venus terperajat.

"Venus?" ujar Mars.
"Mars?" sahut Venus. "S-sedang apa kau disini? Kau sakit?"
Mars tersenyum miris. "Tidak. Aku tidak apa-apa. Hanya saja... tadi ada sedikit kecelakaan di jalan,"
Baru saja Venus berniat menanyakan apa Mars mengenal Oom Bumi sejak dulu, Mars membatalkan niat Venus.
"Hei, kau mau menemaniku minum kopi di cafe dekat sini?"
sejenak Venus terdiam. Lalu menganggukan kepala pasti.

Keakraban di antara Venus dan Mars ternyata begitu cepat sekali terjalin. Baru saja mereka duduk di kursi dekat jendela besar cafe rumah sakit, mereka sudah bisa tertawa bersama dan saling menceritakan kisahnya masing-masing. Venus bahkan sampai melupakan Bintang di rumah.

"Jadi, Ayahmu menyangka kamu dan Andromeda ada hubungan?" tanya Mars di sela-sela kekehannya. Venus mangut-mangut.
"Itu konyol bukan?!" sahut Venus. "Padahal, waktu itu aku hanya tidak sengaja berpas-pasan dengan Andromeda di kantor Ayahku. Dan kebetulan aku mengenalnya baik Ayahnya,"
Mars mengangguk sambil mengaduk kopinya. "Bagaimana kalau niat Ayahmu yang ingin menjodohkanmu dengan Andromeda itu serius? Yahh... kau mau menerimanya?"
"Tentu saja tidak! Aku kan ingin mencari jodohku sendiri!"
"Hhh... syukurlah..." gumam Mars tanpa sadar.
"Apa?"
"Ah, tidak apa-apa!" Mars tersenyum. "Hei, boleh ku tahu apa cita-citamu?"
Venus tertawa kecil. "Aku selalu gembira kalau ada seseorang menanyakan hal seperti itu padaku. Mmm... sejak Ibuku meninggal, aku ingin sekali menjadi seorang dokter. Dokter yang hebat,"
"Apa? Engg... maaf, kalau aku tidak salah dengar, Ibumu sudah meninggal?"
venus mengangguk pasti. "Ya! Itu sudah lama sekali. Mm... mungkin saat aku berumur sepuluh tahun. Hei, kau tahu? Dulu Ayahku sempat menikahi perempuan lain. Padahal, waktu itu Ibuku sedang hamil aku. Tapi... akhirnya Ayah meninggalkan perempuan itu dan kembali pada Ibu. Romantis bukan?!"

Mars tersentak kaget. Apa perempuan yang di tinggalkan Ayah Venus itu adalah Ibu Mars? Atau... perempuan lain? Ah, entahlah. Sejak Mars lahir sampai sekarang, Ibu tidak pernah bercerita apa alasan mereka bercerai. Mars menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Kau kenapa? Sakit?" tanya Venus panik.
"Ah, tidak..." jawab Mars seadanya. Tiba-tiba jam dinding di rumah sakit berbunyi. Venus dan Mars bersamaan menoleh. Sudah jam enam tepat. Venus mendadak teringat sesuatu.
"BINTANG!!"

Mars memandang Venus bingung. Bintang?

* * *

Seminggu sudah berlalu sejak Mars mengajak Venus ke cafe rumah sakit. Dan sudah selama itu pula Mars menunjukkan tingkah laku yang sangat aneh bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Ibunya bahkan sempat berpikir anak tunggalnya ini di racuni sesuatu.

"Ya, Bu. Aku sudah di racuni oleh seorang gadis cantik," sahut Mars ringan sambil mengedipkan sebelah matanya pada Ibu. "Racun cinta,"

Blue dan Biru tidak kalah bingungnya. Saat mereka mampir ke rumah Mars untuk meminta bantuan membuatkan laporan. Mars nyengir lebar-lebar begitu teringat terakhir kalinya ia bertemu Venus di cafe. Venus berteriak menyebutkan nama 'Bintang' dan sempat membuat Mars bingung. Ternyata Bintang adalah adik kecil Venus yang sendirian di rumah.

"Kau ini baru terserempet kereta api atau tertabrak pesawat jet?" sindir Biru merasa risih menatap temannya menggila karena cinta. Mars cuma mengangkat bahu cuek.

Siang ini Mars ada janji makan siang dengan Blue dan Biru di restoran dekat kampus. Sebenarnya yang mengajaknya makan siang itu si kembar! Mars sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba si kembar mengajaknya makan siang. Tapi, kedua sahabatnya itu bilang ingin memberikan informasi penting dan Mars akan sangat menyesal kalau menolaknya.

"Sebenarnya mereka itu ingin memberitahu apa sih?" kata Mars ketika baru saja duduk di salah satu meja dekat jendela besar. "Apa segitu pentingnya? Atau jangan-jangan mereka tidak kenal teknologi handphone?!"

"Mars!" panggil Blue berjalan cepat menghampiri Mars.
"Kalian itu lama sekali?! Apa kalian pikir aku tidak punya urusan lain selain menunggu kalian sampai lumutan disini??" amuk Mars kesal.
Si kembar hanya angkat bahu ringan.
"Langsung saja ke topik pembicaraan," sahut Blue malas berbasa-basi. "Kami mengajakmu makan siang disini bukan untuk mentraktirmu makan, tapi untuk memberitahu hal yang penting,"
Mars mendengus sebal.
"Ini ada hubungannya dengan Venus dan seorang fotografer yang kau kagumi itu," lanjut Biru.
"Ah, ya! Apa kabarnya dia? Sudah lama aku tidak melihat hasil fotonya lagi,"
Biru mengacungkan map coklat. "Dan aku memiliki fotonya!" baru saja Mars ingin merebut map coklat itu mendadak Blue menghalangnya.
"Tapi kau jangan terkejut melihat hasil fotonya..."
"Kenapa?
"Karena--"
"Oii, Biru! Blue!" seru seseorang mengejutkan si kembar. Mereka bertiga sama-sama menoleh ke arah pintu masuk.

Si kembar membelalak kaget.

"Hei, bukankah... itu fotografer yang hasil fotonya aku kagumi itu kan?" tebak Mars girang. "Akhirnya aku bisa bertemu dengannya!"
"Hai, sepertinya kalian sedang sibuk," kata orang yang baru saja datang barusan.
Blue nyengir garing. "Mmm... hai, tuan fotografer. Senang bisa bertemu denganmu disini, sobat,"
"Kalian tidak bedua disini," katanya menatap Mars. "Apa ini Mars? Orang yang beberapa waktu lalu ingin bertemu denganku?"
Mars mengangguk pelan. Ia mengulurkan tangan sambil tersenyum simpul. "Senang bertemu denganmu disini. Aku benar-benar menyukai hasil fotomu dan sangat berharap kau bisa memfoto gadisku,"
"Woa... terimakasih," sahutnya menerima uluran tangan Mars.
"Namaku Mars,"
Dia mengangguk. "Andromeda,"

Glek!

"Andromeda?" beo Mars seperti habis tersambar petir.
Ia mengangguk. "Lalu, siapa perempuan yang harus ku foto? Pacarmu?"

Mars hanya bisa diam tak berani menjawab. Apa di dunia ini ada banyak yang bernama Andromeda?

* * *

"Kau dengar apa yang tadi dokter bilang?" kata Ibu sambil menggandeng anaknya. "Jangan sekali-kalinya membenturkan kepalamu ke lantai lagi! Bagaimana sih?! Baru saja seminggu yang lalu kamu kecelakaan sampai jidatmu berdarah..."
"Ibu, berapa kali sih harus aku bilang?! Tadi itu aku tidak sengaja jatuh dari tempat tidur dan kepalaku membentur lantai! Mana mau aku menghancurkan kepalaku sendiri..." sahut Mars.

Ibu hanya diam. Apa yang di katakan Mars memang tidak sepenuhnya salah sih, tapi ia tidak menceritakan kejadian yang selengkapnya. Sebenarnya, tadi Mars benar-benar terkejut begitu melihat fotografer yang di kaguminya ternyata Andromeda alias orang yang pernah di ceritakan Venus tempo hari. Sesampainya di rumah, Mars berniat menjatuhkan diri ke tempat tidur, tapi karena terlalu banyak pikiran, Mars terlalu ke pinggir hingga kepalanya mencium lantai.

"Ibu, bagaimana kalau kita menjenguk Ayahnya Venus dulu?" usul Mars menghentikan langkahnya di koridor rumah sakit.
"Venus? Gadis yang sudah meracunimu itu?"

Mars mengangguk pasti. Tanpa menunggu jawaban dari sang Ibu, Mars segera menarik Ibu ke ruangan tempat Ayah Venus di rawat dan masuk begitu saja.

"Venus!" seru Mars ketika melihat Venus sedang mengobrol bersama Ayahnya.
"Mars?" sahut Venus bingung sekaligus senang.
"Lho? Orion?!" pekik Ibunya Mars mendadak membuat Mars kebingungan.

Ibu mengenal Ayahnya Venus?

"Vega?! Benarkah itu kau?!" seru Ayahnya Venus tidak kalah kagetnya.

Belum sempat Mars ataupun Venus mengucapkan sepatah katapun, Ibunya Mars tiba-tiba berlari menghampiri bangsal dan langsung memeluk Ayahnya Venus. Beliau pun membalas pelukan Ibu. Tentu saja ini membuat kedua remaja yang tertinggal di situ kebingungan! Terutama Mars. Karena Ibunya sampai menitikan air mata.

"Kemana saja kau selama ini?" tanya Ayahnya Venus melepaskan pelukan. "Kau tahu? Aku merindukanmu,"
Ibu menyeka air matanya. "Aku juga. Huh, kan kau duluan yang meninggalkan ku waktu itu! Padahal, pada saat itu, aku sedang mengandung Mars,"

Mars tiba-tiba teringat sesuatu. Asumsi Biru dan Blue! Mereka yang mengatakan bahwa Mars dan Venus bisa saja memiliki darah yang sama alias adik-kakak. Apa jangan-jangan itu benar? Ayahnya Venus adalah Ayahnya Mars? Ibunya Mars adalah Ibunya Venus? Benarkah itu?

"Mars! Kau mau kemana?!" seru Venus panik ketika melihat Mars dengan cepat meninggalkan ruangan tanpa pamit.

* * *

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi jalan raya kota masih belum menunjukkan tanda-tanda akan gelap. Benda-benda angkasa penghias langit malam pun bersinar dengan cerah tak ingin kalah dengan cahaya lampu-lampu kota yang semakin hari semakin menghabiskan minyak bumi.

Andromeda mengendarai mobilnya secara perlahan. Raut wajahnya terlihat kusut seperti benang yang habis di cakar-cakar oleh kucing liar. Di sebelahnya, Ayahnya duduk tenang sambil sesekali melirik Andromeda yang sejak tadi tidak mengajaknya ngobrol sama sekali.

Ayahnya berdeham. "Tumben hari ini kau tidak jalan dengan Venus? Biasanya kau tidak pernah absen mengajaknya dinner?"
"Ia tidak bisa di hubungi," sahut Andromeda ketus. "Sejak tadi sore ponselnya terus mati dan di rumah pun hanya ada Bintang yang tidak tahu dimana Venus sekarang!"
Ayahnya mangut-mangut. Ternyata ini yang membuat anaknya terdiam sejak tadi. "Yahh... mungkin Venus sudah ada janji dengan seorang temannya dan tidak bisa di ganggu,"

Yeah, dan orang itu pasti Mars, ucap Andromeda dalam hati.

"Tadi Ayah menelfon Ibu tirimu," kata Ayahnya datar. Andromeda menaikkan sebelah aliasnya. "Dan, seperti biasanya, dia marah-marah karena Ayah masih terus menghubunginya,"
Andromeda melongos. "Tentu saja, Ayah! Mana ada istri yang senang di hubungi lagi oleh mantan suaminya yang meninggalkannya saat sedang hamil?!"
"Tapi, Andro, Ayah kan melakukan hal itu karena Ayah ingin bertanggung jawab dengan Ibumu. Ayah meninggalkannya karena ingin menjadi Ayahmu!"
"Ya... ya... terserah apa kata Ayah," kata Andromeda. "Tapi yang jelas, aku tidak suka dengan keputusan Ayah yang meninggalkan wanita itu. Dan aku sangat menyesal telah di lahirkan sebagai anak haram,"
"Jangan berkata seperti itu!" seru Ayah kesal.
"Lalu apa namanya kalau ada seorang anak yang lahir di luar pernikahan?!"

Ayah terbungkam. Andromeda mengatur nafasnya yang memburu cepat. Ia membetulkan letak kacamatanya yang merosot lalu kembali menatap jalanan.

"Beberapa hari yang lalu Ayah tanpa sengaja bertemu dengan saudaramu," kata Ayah. "Dia anaknya Vega. Mungkin akan lebih baik kalau kau mau berteman dengan anaknya yang juga saudaramu,"
Andromeda mencerling. "Siapa namanya?"

"Mars,"

Chiiiiiiitttttttt......!!!!!!!!!!!!!!

* * *

Mimpi buruk yang jadi kenyataan. Benar-benar menakutkan!

Tok! Tok! Tok!

"Mars, bisa kamu izinkan Ibu masuk ke dalam? Hampir seharian kamu terus mengurungkan diri di kamar!" seru Ibu mengetuk-ngetuk - tepatnya menggedor-gedor - pintu kamar anaknya.

Tidak ada tanggapan dari si empunya kamar.

"Baik-baik! Ibu akan menceritakan yang sebenarnya padamu," kata Ibu akhirnya menyerah. "Sekarang, tolong biarkan Ibu masuk ke kamar,"
"Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun, Bu! Ceritakan saja semuanya dari luar!" sahut Mars agak terpendam oleh pintu kamar.
Ibu mengernyit bingung. Mars menyuruh Ibunya menceritakan semuanya sambil berteriak? Yang benar saja!
"Anak aneh..." gumam Ibu sambil menggelengkan kepala. "Oke. Terserah kau saja,"

"Jadi, gadis cantik tadi itu adalah orang yang sudah meracunimu ya?" kata Ibu terkekeh kecil. "Wah, dia sangat cantik ya? Pantas saja kamu sampai tergila-gila dengannya. Venus itu... mirip sekali dengan Franda, almarhum Ibunya,"

Ibu tidak tahu kalau di dalam kamar, Mars lagi-lagi jatuh ke lantai saking terkejutnya mendengar sepenggal cerita Ibu. Mars mengaduh sambil kepalanya yang kesekian kalinya terbentur.

"Sebenarnya, Ibu dan Ayahnya Venus itu sudah bersahabat sejak kecil. Yah, dulu sih sewaktu SMA, Ibu memang sempat ada rasa dengan Ayahnya Venus. Tapi... setelah Ayahnya Venus di jodohkan dengan seorang wanita cantik bernama Franda, Ibu terpaksa membuang perasaan itu....

"Nah, sampai suatu hari Ibu bertemu dengan Ayahmu! Belum lama Ibu pacaran, ternyata Ayahmu sudah melamar duluan. Ya karena Ibu cinta tentu saja Ibu terima! Tanpa Ibu tahu kalau sebenarnya Ayahmu itu sudah menghamili perempuan lain. Dan kau tahu? Ayahmu itu meninggalkan Ibu tepat saat anaknya dari wanita lain hamil dan Ibu sedang mengandungmu. Ajaib bukan?"

Ibu menghela nafas panjang menyadari tidak ada reaksi apapun dari Mars. Ia membuka lemari besar di dekatnya lalu mengambil sebuah figura kayu yang sudah lama ia simpan. Sedetik kemudian, pintu kamar Mars terbuka dan anaknya yang sedang jatuh cinta itu keluar.

"Ini foto Ayahmu," kata Ibu mengulurkan figura yang di pegangnya. "Maaf ya, sayang, Ibu baru bisa menunjukkan foto Ayahmu sekarang,"
Agak ragu Mars menerima figura kayu itu. Di tatapnya secara seksama raut wajah Ayahnya yang di dalam foto itu sedang berangkulan dengan Ibu. Mars tersenyum samar.

"Sepertinya... aku pernah bertemu dengan orang ini," kata Mars.
"Oh ya?" seru Ibu. "Dimana?"
"Engg dimana ya? Kalau tidak salah--" mendadak suara Mars terputus. Ponselnya bergetar hebat di dalam saku jins lalu mengernyit bingung melihat nomor yang tanpa nama di LCD ponselnya.

"Halo?"
"Mars, ini Andromeda. Ada yang harus kita bicarakan. Datang ke cafe 'Planetraium' secepatnya," sahut Andromeda di seberang sana. "Ini penting!"

Mars terdiam.

* * *

Siang yang mendung. Awan gelap sudah sejak tadi menyelimuti keramaian kota. Tapi itu tidak sama sekali menghentikan kegiatan orang-orang di luar sana.

Andromeda menatap jalanan yang sedang kosong karena sebagian tersendat traffic light. Bayang-bayang perkataan Ayah semalam di perjalanan itu benar-benar menghantuinya! Ia dan Mars adik-kakak? Hah, sulit di percaya! Bahkan Andromeda tidak pernah menginginkan Mars menjadi saudaranya sama sekali. Karena Marslah yang berhasil membuat Venus menjauh dari Andromeda.

"Ada apa menyuruhku kesini?" tanya Mars mendadak membuyarkan lamunan Andromeda.

Sejak kapan anak itu duduk di hadapanku? tanya Andromeda dalam hati.

"Ehm, kapan kau datang?" tanya Andromeda agak keki.
Mars angkat bahu. "Lima menit yang lalu. Sejak kau mulai melamun dan memperhatikan jalanan,"
"Selama itukah?" gumam Andromeda.
"Apa?"
Andromeda menggelengkan kepala. "T-tidak! Tidak apa-apa,"
"Oke, sekarang kalau kau sudah selesai melamun, bisa beritahu apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Mars bersandar ke kursi. "Apa ini ada hubungannya dengan Venus? Kau jadi tunangan dengannya?"
Yang di tanya mendengus. "Itukah yang kau inginkan? Pertunangan antara aku dan Venus?"
"Tentu saja tidak!" seru Mars.

Andromeda melongos. Ia lalu mengeluarkan dompet coklatnya dari dalam saku jins lalu mengambil selembar foto yang sedikit usang.

"Coba kau lihat ini," kata Andromeda memberikan foto itu pada Mars. "Aku pikir kau mengenal wanita yang ada di foto itu,"
"Lho?! Ini kan..."

Bukankah ini foto yang baru saja aku lihat tadi di rumah? Foto Ibu dan Ayah yang sedang berangkulan? tanya Mars dalam hari.

"Bagaimana bisa--"
"Maka dari itu, aku ingin menjelaskan sesuatu yang bisa membuatmu mual," kata Andromeda ketus. "Bahkan ku pikir kau bisa mati mendengarnya,"
Mars berdecak. "Cepatlah ceritakan!"
"Baiklah..." kata Andromeda. "Begini, foto yang ada di tanganmu itu adalah orang tuaku. Ehm, maksudku hanya prianya saja! Aku belum pernah bertemu dengan wanita itu,"
"That's my mom!" seru Mars. Andromeda angkat bahu cuek.
"Yah, jadi intinya, pria di situ adalah Ayahku yang juga Ayahmu. Dan itu berarti aku dan kau adalah... engg... adalah..." Andromeda menggeram kesal menerima kenyataan. "... adik-kakak,"

Mars sukses bengong di tempat.

"Oh ya, dan sebelumnya kau sudah pernah bertemu dengan Ayahku. Bukankah, karena Ayahku maka di jidatmu itu adalah perban?" kata Andromeda.

Ya, Mars ingat sekarang. Pria itu, pria yang adalah Ayah kandungnya itu, adalah orang yang pernah menabrak taksi yang di tumpangi Mars beberapa hari yang lalu!

"Ini mimpi buruk," kata Mars tegas.
"Aku setuju," sahut Andromeda.

* * *

Kebisingan adalah yang pertama kali menyambut Venus begitu masuk ke dalam bandara. Para pekerja pria yang mengenakan jas resmi serta dasi yang mencolok sejak tadi terus berseliwiran di hadapan Venus. Kebanyakkan dari mereka sedang menelfon sambil sesekali melirik jam tangan seperti sedang terburu-buru. Venus tersenyum kecil. Ia ingat bagaimana waktu pertama kalinya ia bertemu dengan Mars. Saat itu Venus sedang terburu-buru...

Venus menghela nafas lalu menarik kopernya ke dalam bandara. Ia duduk di salah satu kursi kosong sambil mengeluarkan ponselnya. Masih jam 2 siang. Pesawat yang akan membawanya ke Singapura berangkat jam setengah tiga nanti ( emang ada jdwal psawat jm sgitu?? ) masih tersisa setengah jam. Venus terdiam beberapa saat, sementara lamunannya terbang pada saat terakhir kali ia bertemu Mars.

"Ayah, aku dapat beasiswa ke Singapura dari kampus," kata Venus lesu.
"Woah, itu berita baik! Selamat ya, Nak!" seru Ayah tersenyum senang. Tapi mendadak lesu. "Tapi... kenapa wajahmu sepertinya tidak senang? Apa ada masalah?"
Venus menunduk. "Aku tidak ingin meninggalkan Mars, Ayah,"
"Hhh... kau ini! Mars bisa menunggumu disini. Lagipula, jarang-jarang kan mahasiswa yang dapat beasiswa? Cita-citamu sebagai dokter bisa terkabul!"

Tapi tiba-tiba Mars datang menghentikan obrolan Venus dengan Ayahnya. Venus bahkan masih ingat betul bagaimana raut wajah Mars yang pucat pasi begitu melihat Ibunya berhambur memeluk Ayahnya Venus. Jangankan Mars, Venus saja langsung menangis sejadi-jadinya setelah sampai di rumah.

Venus terperajat. Ponselnya berbunyi...

"Ya, Ayah..."
"Hei, gadis cantik, kenapa kau langsung ke bandara tanpa pamit dulu dengan Ayah? Bintang baru saja bercerita kalau kamu sudah berangkat ke bandara," kata Ayah.
Venus menghela nafas. "Maaf, Ayah. Aku hanya tidak ingin tertinggal pesawat,"
"Venus... Venus! Ayah tahu kau menerima beasiswamu ke Singapura itu bukan untuk belajar. Melainkan melarikan diri!"
"Ayah... aku tidak bermaksud begitu,"
"Sudahlah, Ayah tahu kok! Seharusnya kamu jangan gegabah seperti itu kalau mengambil keputusan. Apa kau tidak memikirkan akibatnya? Bisa-bisa disana bukannya kau tambah pintar tapi yang ada kau malah tertinggal pelajaran karena terus memikirkan Mars,"
Venus hanya diam tak menjawab.
"Venus, Ayah dan Ibunya Mars itu tidak ada hubungan sebagai kekasih atau semacamnya!"
"APA?!"
"Aduhh... jangan berteriak. Telinga Ayah baru saja di bersihkan tadi," kata Ayah bersungut-sungut. "Iya, Venus! Ayah dan Ibunya Mars tidak ada hubungan. Kami berdua sudah sahabatan sejak kecil. Tapi sejak pernikahan Ayah dengan Ibumu itu, Ayah sudah jarang berkomunikasi lagi dengannya. Makanya, tadi Ayah begitu senang bisa bertemu lagi dengan Vega, Ibunya Mars..."

Ya Tuhan! Benarkah itu?! Ayah dan Ibunya Mars tidak ada hubungan?! Itu berarti...

"Hei, Venus! Apa yang kau tunggu di bandara?! Cepatlah kembali dan temui Mars! Batalkan semua kepergianmu ke Singapura! Temui Mars, sekarang!" pekik Ayah mengejutkan Venus.

Karena panik -- sekaligus semangat -- Venus segera berlari meninggalkan bandara sambil menarik-narik kopernya. Ia segera menyetop sebuah taksi dan berharap bisa bertemu dengan Mars secepatnya.

Sekarang juga!

* * *

Untuk sepersekian detik, Mars hanya bisa diam tak berkata di depan Andromeda. Kenyataan yang begitu pahit membuatnya tiba-tiba menjadi batu.

Mars dan Andromeda adik-kakak? ini bahkan lebih buruk di banding asumsi Blue!

"Mau kemana kau?" pekik Andromeda melihat 'adiknya' pergi begitu saja. "Hei, Mars tunggu dulu!"
Mars sepertinya tidak perduli. Ia terus saja melangkah keluar dan hampir menyetop taksi.
"Aku belum selesai bicara! Ada yang harus kau tahu tentang Venus!" pekik Andromeda menahan langkah Mars. Andromeda melangkah mendekati Mars.
"Ada apa lagi dengan Venus?"
"Sekarang dia ada di bandara. Bersiap pergi ke Singapura," kata Andromeda datar. Mars menunjukkan reaksi sangat terkejut sampai-sampai bola matanya hampir keluar.
"APA?!"
Andromeda mengangguk. "Ya. Dia dapat beasiswa kesana. Sekarang masih jam dua, mungkin dia masih ada di bandara... sebaiknya kau kejar sebelum dia pergi tanpa pamit,"

Tanpa banyak bicara lagi, Mars segera menyetop sebuah taksi dan langsung pergi meninggalkan Andromeda sendirian.

"Yahh... beginilah takdirmu, Andromeda. Venus bukan untukmu," gumam Andromeda lirih.

Perjalanan dari cafe 'Planetarium' menuju bandara lumayan jauh. Sepanjang perjalanan Mars bersungut-sungut sebal karena ia lupa membawa ponsel. Ia benar-benar panik! Takut akan kehilangan Venus. Mendadak taksi yang di tumpanginya berhenti. Ternyata jalanan macet! Sangat padat sampai-sampai tidak ada celah untuk menyalip.

"Saya turun disini!" seru Mars mengeluarkan beberapa lembar uang lalu keluar dari taksi.

Hujan ternyata turun rintik-rintik. Tapi Mars tidak perduli. Yang ia inginkan sekarang adalah bertemu dengan Venus dan melarangnya pergi ke Singapura. Mars berlari-lari menyusuri trotoar, menabrak orang-orang yang lewat tanpa meminta maaf. Pikirannya sudah tertuju pada Venus!

Mars menghentikan langkahnya ketika melihat traffic light masih berwarna merah. Ia harus menyebrang secepatnya! Beberapa detik kemudian, lampu sudah berubah menjadi hijau. Mars lari-lari menyalip orang-orang banyak tanpa menyadari di hadapannya ada banyak orang lain yang datang dari arah yang berlawanan. Mars terengah-engah berlari dan mendadak ia menabrak seseorang dan jatuh tepat di tengah jalan...

Deja vu!

"Ouch!" rintih Mars kesakitan.
"Ah, maaf..." sahut seseorang mengejutkan Mars.
Cepat-cepat Mars menoleh dan tersenyum senang. "Venus!"
"Mars!"
Mars segera beranjak berdiri lalu menatap Venus penuh arti. Pakaiannya bahkan sudah basah kuyup karena hujan semakin lama semakin lebat.
"Aku senang kau tidak jadi pergi ke Singapura," gumam Mars.
Venus tertawa kecil. "Aku... aku tidak mungkin meninggalkanmu,"
"Ehm, Venus, aku mau mengatakan kalau aku... aku... aku..."

Ayolah! Katakan pada Venus kalau aku mencintainya! Cepat katakan!

"Aku... aku..."
"Aku juga!" seru Venus tiba-tiba. Mars memandangnya bingung. "Aku juga merasakan hal yang sama denganmu!"
Senyum Mars perlahan-lahan muncul. Ia tertawa ringan lalu segera memeluk Venus tepat di tengah jalan. Dan, tanpa ragu pun Venus membalas pelukan Mars.

Hari ini pernah terjadi sebelumnya. Beberapa hari yang lalu dalam suasana yang sama dan tempat yang sama. Hanya saja, waktu itu hujan baru saja berhenti dan orang-orang yang mengendarai mobil terus mengklakson karena mereka ngobrol di tengah jalan. Tapi kali ini, mereka tidak lagi menyebutkan nama mereka masing-masing. Para pengemudi pun diam saja memperhatikan sepasang remaja yang berdiri di tengah jalan itu sambil tersenyum.

Mars mencintai Venus.
Dan, Venus mencintai Mars.

Itu namanya cinta sejati.
Sama-sama saling mencintai meskipun pernah mengalami keraguan.

Oh ya, dan kali ini Venus tidak membawa payung biru kesayangannya dan membiarkan tubuhnya basah oleh hujan yang lebat. Ia terus memeluk Mars tanpa memperdulikan apapun di sekitarnya.

* * *

Read Users' Comments (0)

my emocation

wew , love music always [img]http://emoticons4u.com/music/musik05.gif[/img]

Read Users' Comments (0)

Kangen BBF


huiii ...
udah lama gga buka blog , kangen juga yaa ??
hahahahahaha

oiyya , film bBf kan udh bres tuh , awal'a sih bysa ajah gga nton bBf , ehh lama" pngen nton juga tuh drama asia .
emang sih banyak drama asia-drama asia yang lain . tpi tetep ga ada yg ngalahin bBf sampe sekarang !
abisnya , drama mreka kren sih . ga boring , kocak , lucu ...
hehehe
yuah , gue tahu sih film aslinya itu kan meteor garden ya? dulu jga sebnernya gue suka sama meteor garden . nonton barengan sama nyokap .
wakakakaka
emak ama anak sama-sama doyan drama asia ... jyah , itu pun klo pemainnya ganteng" .
dasar ...

miss BBF deh pkoknya!

Read Users' Comments (0)

Glitter Photos
[Glitterfy.com - *Glitter Photos*]

Read Users' Comments (0)

biodata Kim Jun



Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Nama : Kim Hyung Joon
Tanggal lahir : 3 Februari 1984
Tinggi : 183 cm
Drama : BBF! (2008)

sedikit cerita :
Ingat lagu Almost Paradise yang menjadi lagu pembuka BBF? lagi ini di bawakan oleh T-Max, grup musik di korea yang juga beranggotakan Kim Hyung Joon atau Kim Jun. dalam waktu dekat, Kim Jun juga akan membuat debut teater pertamanya. walaupun bukan sebagai pemeran utama, ia akan tampil dalam sebuah teater musikal berjudul Youthful March. kim jun punya cara pelampiasan stres yang unik! biasanya ia akan meraung dengan keras. (sumber : kaWanku edisi no 51)

Read Users' Comments (0)

biodata Kim Bum


Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Nama : Kim Sang Bum
Tgl lahir : 7 July 1989
Golongan Darah : O
Tinngi/BB : 181cm/63kg
Hobi : Sepak bola,baseball,kendo
Pendidikan : Universitas Joong An
Agensi : The Show Entertainment,glory entertainment(jepang)
Drama televisi : Boys Before Flowers (KBS2,2008)
East Of Eaden (MBC,2008)
Unstoppable High Kick (MBC,2006)
Rude Woman(MBC,2006)
Film layar lebar : Gosa(Death Bell,2008)
I like it Hot (2008)
Penghargaan : Key To Nineja's Heart (2009), DK Inki Award (2008), Korean Drama Festival : Netizen Popularity Award (2008), Korea MNET Summer Break 20's Choice-Sexiest Award (2007)

sedikit cerita :
Kalo sedang suntuk, biasanya Kim Bum langsung berkumpul dengan teman-temannya. kim Bum mengaku belum pernah punya pacar selama hidupnya. KIm Bum di pilih oleh Nitendo untuk tampil di iklan Mario Kart Wii game. ini suatu kehormatan bagi Kim Bum karena Nintendo di kenal sebagai brand yang hanya memilih artis-artis yang sangat terkenal dan berlevel internasional. (sumber : kaWanku edisi no 51)

Read Users' Comments (4)

biodata Lee Min Ho


Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]

Biodata Lee Min Ho Pemeran Goo Jun Pyo Si Ketua F4 Korea (Boys Before Flowers)

  • Nama : 이민호 / Lee Min Ho
  • Profesi : Aktor
  • TTL : Seoul, 22 Juni 1987
  • Tinggi Badan : 185cm
  • Zodiak : Cancer
  • Golongan Darah : A

Sinetron yang dibintangi Lee Min Ho

  • Boys Before Flowers (KBS2, 2009)
  • But I Don’t Know too (나도 잘 모르지만) (MBC, 2008)
  • I’m Sam, berperan sebagai Heo Mo Se (KBS2, 2007)
  • Mackerel Run (SBS, 2007)
  • Secret Campus (비밀의 교정) (EBS, 2006)
  • Love Hymn (MBC, 2005)
Prestasi : The 45th Baeksang Arts Awards : Best New Actor Boy Before Flower (2009)

Sedikit cerita :
Waktu kecil Lee Min ho adalah seorang anak yang pintar dan cerdas tapi pemalu. matanya bulat dan hidungnya mancung. dia terlihat cute banget kalo matanya yang besar itu mengerjap-ngerjap! Min Ho bercita-cita jadi pemain sepakbola hebat serta aktif berlatih taekwondo. Min Ho mulai di dekati oara manajer pencari bakat sewaktu SMP. cita-citanya pun berubah jadi pemain aktor. Mm.. nyadar gak sih kalo muka Min Ho mirip sama Jerry Yan? (sumber : kaWanku edisi ke 51)

Read Users' Comments (3)